Eddi Sulistio berhasil mengubah citra Surabi Bandung dari makanan tradisional menjadi makanan resto yang digandrungi Anak Baru Gede (ABG). Dengan ini serabi jadi lebih “ngetrend” dan jadi makanan “anak gaul”.
Surabi, atau yang di beberapa daerah dikenal sebagai serabi, merupakan makanan tradisional yang biasanya dijajakan secara keliling atau dipajang di lapak-lapak kaki lima. Biasanya, serabi dibeli kemudian dibungkus dan dibawa pulang untuk dijadikan makanan selingan. Tetapi di tangan Eddi Sulistio kebiasaan lama itu telah diubah. Kini Surabi Bandung, yang semula diposisikan sebagai makanan selingan, dengan berbagai inovasi pengolahan ia sulap menjadi makanan utama dan siap santap di tempat.
“Para pengemar tidak lagi harus menenteng-nenteng surabi ke rumah. Mereka sekarang bisa memakannya di tempat. Karena kami telah mengubahnya menjadi makanan ala resto,” ungkap pria asal Padang ini. “Dan surabi yang kami sajikan selalu dalam keadaan panas,” sambungnya.
Hasil dari ‘eksperimen’ dari pria yang mengaku suka menikmati berbagai jenis makanan ini kini telah membuahkan sedikitnya 34 jenis surabi. Bahkan masih ada beberapa jenis surabi baru yang akan diluncurkan dalam beberapa bulan mendatang. “Pokoknya dijamin enak, bergizi dan murah,” ujarnya setengah berpromosi.
Meski cita rasa merupakan poin utama dalam berbisnis makanan, namun menurut Eddi, rasa enak bukan satu-satunya jaminan yang bisa mendatangkan pelanggan. Sedari awal Eddi meyakini dirinya harus fokus kepada satu segmen tertentu untuk bisa mengatrol penjualannya.
Maka ia memposisikan surabinya untuk segmen Anak Baru Gede (Murid SLTP, SMU dan perguruan tinggi). “Saya berpikir harus fokus pada segmen tertentu. Dan menurut penilaian saya ABG merupakan segmen yang paling luas dibandingkan segmen lainnya,” papar Eddi mengenai alasannya membidik segmen ABG. Karena segmen yang dibidik para ABG, Eddi juga berusaha ‘gaul,’ di antaranya selalu berusaha untuk menyapa, bahkan ikut ‘nimbrung’ pembicaraan dengan para pelanggan yang biasanya datang berkelompok ini.
Desain restonya pun dibuat agar memberikan kesan santai. Para pelanggan bebas menikmati makanan yang disajikan tanpa harus terburu-buru. Karena untuk menikmati surabi yang dipesan memang membutuhkan waktu yang lumayan lama. “Banyak pelanggan baru yang mengeluh mereka menunggu terlalu lama. Tetapi bagi para pelanggan lama, mereka sudah paham mengenai proses pengolahan surabi ini. Justru waktu menunggu selesainya pesanan ini mereka manfaatkan untuk saling bertukar informasi,” terang Eddi.
Untuk memperluas pelanggan, maka Eddi sering menyambangi berbagai kegiatan sekolah maupun perguruan tinggi, seperti ikut menjadi peserta di sejumlah pameran atau basar yang diadakan oleh suatu sekolah atau suatu perguruan tinggi. “Kalau tak kenal maka tak enak. Artinya, biarpun makanan kita enak kalau mereka tidak mengenal tentu dagangan kita juga tidak laku,” imbuh pengusaha yang lebih dulu menggeluti usaha percetakan ini.
Tak jarang Eddi menjemput bola kepada para pelanggan. Sering ia mengundang sejumlah pengurus OSIS sejumlah sekolah atau senat mahasiswa sejumlah perguruan tinggi untuk mencicipi surabi penemuan terbarunya. “Saya lebih senang mengundang mereka makan, ketimbang menyebar-nyebar brosur,” aku Eddi.
Jurus yang diterapkan oleh Eddi itu sepertinya sudah berada pada jalur yang benar, jika kesetiaan dan pertumbuhan pelanggan dijadikan ukuran. Menurut pengakuan Eddi, banyak pelanggan yang masih setia mengunjungi outletnya di Jalan Margonda Depok meski mereka sudah duduk di bangku kuliah. “Mereka menjadi pelanggan saya sejak duduk di bangku SMU,” paparnya sambil menunjuk sekelompok mahasiswi yang tengah menyantap surabi.
Dengan satu restonya di Jalan Margonda saja Eddi bisa meraup omset sekitar Rp 30 juta/ bulan. Sedangkan Eddi dalam waktu tiga tahun ini juga sudah membuka gerai di Kelapa Gading dan di Jalan Wahid Hasyim. “Untuk yang di Kelapa Gading, saya masih ngikut orang,” terangnya.
Sedangkan resto yang berada di Jalan Wahid Hasyim, selain membidik ABG, Eddi juga menyasar para turis, tetapi pasar ABG tetap menjadi sasaran utamanya. “Saya optimistis, selama resto didirikan di tempat yang banyak dikunjungi ABG bisnis ini akan bisa berjalan lancar,” sebut Eddi.
Ke depan Eddi juga ingin memperluas restonya dengan sistem waralaba. Tetapi untuk saat ini Eddi masih menerapkan pola kemitraan bagi pihak-pihak yang tertarik untuk berbisnis surabinya. “Saya juga sedang mencari-cari tempat untuk memperluas resto di antaranya di Cikarang dan Bogor,” ucap Eddi. Selain itu, resto yang berada di Jalan Margonda juga akan diperluas dengan memanfaatkan ruangan di lantai II. “Di atas (lantai II) nanti akan kami sajikan makanan-makanan dari Jepang seperti tempura dan teriyaki,” jelasnya.
Eddi menjamin meski makanan-makanan yang akan disajikan berbau impor namun tetap akan dipadukan dengan yang sudah ada. Dan yang lebih penting lagi Eddi menjamin makanan yang disuguhkan masih sesuai dengan kocek para ABG.
Sampai saat ini secara umum Eddi masih menyebut Surabi Bandung untuk surabi yang dijualnya. Ke depannya surabi itu akan diberi brand ‘Wacan.’ Artinya Pak? “Ah, apa arti sebuah nama,” tukasnya.
Tahun ketiga
2 jam yang lalu
1 komentar:
jadi kepengen
Posting Komentar