Senin, 17 November 2008

Dobbi Fried Chicken

Setelah sempat terseok-seok, Irawan kini sukses mengelola bisnis ayam goreng. Dobbi, gerai ayam goreng yang dikelolanya kini telah menyebar ke beberpa kota di Jogja, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dari peternak ayam hingga penjual daging. Inilah yang dilakukan pengusaha muda dari Jogja, Irawan Kusumo W (30). Di kalangan peternak ayam di kabupaten Sleman (DIY) lelaki bertubuh tinggi besar ini, bukan sosok yang asing lagi. Maklum dia memang pernah menjadi salah satu pemain besar dalam bisnis peternakan ayam ras di sana.

Selain dikenal sebagai peternak ayam, Irawan belakangan memang sibuk mengembangkan bisnis pengolahan daging ayam. Selain mensuplai kebutuhan untuk horeka (hotel, restoran, dan kafe) yang ada di sekitar propinsi DIY, dia juga menjual ayam goreng fried chicken dengan brand name Dobby. Walau terbilang pendatang baru, ayam goreng Dobbi, telah berhasil menarik perhatian para penikmat makanan cepat saji. Ini terlihat dari perkembangan gerai membiak. Jika tak sempat ke Jogya, “Dobby” bisa juga ditemukan di Solo dan Wonogiri dan Kediri.

Untuk membiakkannya Irawan bermitra dengan para pemilik modal untuk membuka usaha ayam goreng tersebut. “Kalau hanya sekedar mengejar jumlah outlet kami tentu sudah banyak, karena telah ada puluhan orang berminat bergabung,” kata bapak dua anak ini.
Menurut pengakuannya, telah banyak pemilik uang yang serius mengajak kerjasama, tapi sebagian tidak bisa dipenuhi. Selain karena lokasi usaha yang kurang strategis, juga karena sikap sebagian peminat yang hanya sekedar setor modal alias menjadi investor pasif saja. Mereka inilah yang hanya ingin menyerahkan modal, tapi tidak mau terlibat mengelola atau mengembangkan usaha. Sementara, bagi Irawan keterlibatan pemilik modal dalam operasional merupakan salah satu persyaratan. “Paling tidak untuk tahap pengembangan awal mereka harus terlibat, walaupun setelah berjalan baik diserahkan kepada orang lain yang dipercaya,” tandasnya.

Irawan memang memiliki konsep bukan sekedar bisnisnya berkembang pesat, tapi ia juga ingin menebarkan semangat kewirausahaan bagi orang lain. “ Konsep kami, investor harus ikut mengelola usaha, agar mereka punya keterikatan emosional dalam berbisnis,” ungkap salah satu pengelola Enterpreneur University (EU) di Solo ini.

Menurut Irawan, ia membidik konsumen yang gemar makan fast food. Untuk menghasilkan makanan yang menurutnya sangat enak dan sehat, dia tidak memanfaatkan MSG ( monosodium glutamate) atau vitcin. “Saya berani jamin, produk kami benar-benar bebas penyedap rasa dari vitcin,” paparnya. Dan yang penting, renyah dan gurih, seperti layaknya kita menyantap ayam goreng dari manca negara.

Untuk menciptakan hasil gorengan ayam yang benar-benar cocok di lidah konsumen, Irawan mengaku dibantu seorang koki yang pernah bekerja di sebuah restoran cepat saji ternama. “Untuk menciptakan rasa yang cocok di lidah kebanyakan orang Indonesia, saya memang melibatkan koki alumni dari resto ayam goreng yang cukup terkenal,” tutur kelahiran 19 Februari 1976 tersebut.

Bagi mereka yang berminat mengembangkan bisnis resto ayam goreng, agaknya ayam goreng Dobbi bisa menjadi alternatif pilihan yang menarik. Sebab untuk membuka usaha ini, tidak diperlukan modal besar. Ada tiga pilihan paket investasi yang ditetapkan, masing-masing senilai Rp 9.5 juta, Rp 14.5 juta dan Rp 45 juta. terserah pemilik modal mau memilih paket yang mana.

Untuk paket pertama, mitra kerjasama akan mendapat counter berikut alat produksi,dari majic jar, kompor hingga peralatan penggorengan. Paket tersebut memang khusus bagi mereka yang ingin mengambil counter berikut alat produksi saja. Mereka bisa mengerjakan sendiri pembuatan desain gerai sesuai dengan gambar yang sudah ditentukan. Tapi bila ingin beres, bisa mengambil paket kedua karena selain dapat paket pertama, dengan menambah dana sekitar Rp 5 juta, anda cukup duduk manis karena semua pengerjaan desain akan digarap oleh tenaga khusus yang sudah profesional di bidangnya.

Seperti disebutkan di atas, Dobbi tidak sekedar menjual produk ayam goreng saja, tapi menawarkan alternatif tempat makan yang santai dengan menu spesial ayam fried chicken dan burger. Untuk itu, gerai harus didesain sedemikian rupa agar tampil menarik, bukan sekedar supaya enak dipandang tapi juga nyaman untuk disinggahi. Ada standar baku untuk tampilan counter, meja dan kursi makan, hingga warna cat sampai bentuk brand identity-nya.
Memiliki lokasi tanah, memang menjadi persyaratan untuk mereka yang ingin membuka usaha Ayam Goreng Dobbi. Tidak harus tanah sendiri, tapi bisa sewa asal lokasinya strategis untuk bisnis. Ukuran mininal lokasi usaha sekitar 5 X 7 meter. Untuk disain bisa dibuat sendiri karena pihak manajemen sudah menyediakan panduan berupa gambar. Tapi kalau ragu-ragu, bisa menyerahkan kepada manajemen untuk mengerjakannya.

Menurut Irawan, prospek bisnis yang kini digelutinya sangat cerah. Apalagi belakangan telah menjadi trend di masyarakat bahwa makan bukan lagi sekedar mengisi perut, tapi telah berkembang menjadi trend bagian dari gaya hidup. Karena itulah, ia membuat konsep gerainya berpenampilan seperti kafe dimana orang yang datang akan bisa duduk santai. Sambil cuci mata juga oke kok.

Sangat wajar bila Irawan merasa optimis bahwa bisnisnya akan berkembang cukup bagus. Sebagai pengusaha Irawan benar-benar berangkat dari nol. Sejak masih duduk di bangku SMA dia sudah mandiri. Padahal kalau mau dia cukup bisa minta fasilitas dari orangtuanya yang sempat menjadi salah satu pejabat di Mabes Polri. “Sejak kecil saya sudah dididik untuk mandiri,” katanya anak pertama dari tiga saudara ini.

Irawan mengaku, sewaktu masih duduk di SMA ia sudah biasa mencari penghasilan dengan cara menjadi sopir angkutan. Ia juga pernah mencoba berbisnis sembako. Saat kuliah di D3 Elektro UGM, ia mendapat kepercayaan untuk mengelola peternakan ayam. Itu terjadi tahun 1998 lalu ketika krismon sedang ganas-ganasnya melanda negeri ini. “Tanpa jaminan apa-apa saya dipinjami dana delapan puluh juta untuk membuat peternakan ayam,” katanya.

Mendapat amanah seperti itu, Irawan berusaha menjalankannya dengan sebaik mungkin. Ia tidak mau mengecewakan pemilik modal. Dengan modal tersebut, ia membangun peternakan ayam di kawasan Sleman. Dari ayam ribuan, akhirnya ia berhasil mengembangkan menjadi ratusan ribu ekor ayam.

Pengalaman mengelola peternakan ayam tersebut, membuat kepekaan bisnis Irawan kian terasah. Baginya, bisnis peternakan merupakan bisnis yang penuh resiko. Bila tidak ditata dengan manajemen yang cukup baik, bisa-bisa bisnisnya akan berantakan. Kenyataan ini sempat dialaminya, karena orang yang kepercayaannya ternyata tidak bisa menjalankan tugas yang telah diserahkan dengan baik. “Saya sempat terpuruk mengalami kerugian ratusan juga rupiah,” cerita Irawan.

Tapi menurut Irawan, kehancuran bisnis peternakan ayam tidak semata-semata masalah internal perusahaan, tapi juga disebabkan faktor internal yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan yang tidak tegas dalam soal impor daging ayam dari luar negeri. Itu terjadi tiga tahun lalu.”Sebelum isu flu burung kami sudah diserang badai ayam impor,” tukasnya.

Akibat banyaknya ayam gelap dari luar negeri yang masuk ke Indonesia tersebut, produk ayam Indonesia mengalami kemerosotan harga. Antara biaya produksi dengan hasil tidak imbang sama sekali. Untuk mengurangi kerugian tersebut, Irawan mencoba membuka usaha baru. Selain beternak, ia menjual mengolah sendiri daging tersebut untuk dijual langsung. Dengan berbagai cara, ia mencoba mempromosikan daging olahan tersebut. Ia lebih banyak memilih pasar hotel dan rumah makan. Ternyata upayanya membuahkan hasil. Ia bisa lega karena berhasil memasarkan ayam hasil peternakannya sendiri. “Paling tidak saya bisa meminimalkan kerugian,” ucapnya.

Dalam waktu yang tidak lama, Irawan berhasil menguasai puluhan rumah makan kafe dan hotel. Tapi persoalan kemudian muncul, karena mereka hanya memilih bagian tertentu dari daging ayam tersebut. Tegasnya, ada beberapa bagian seperti paha kepala dan sayap yang kurang peminat. Namun lelaki kelahiran Kediri, Jatim ini tidak kekurangan akal. Ia mencoba menjual paha, kepala dan sayap tersebut dalam bentuk fried chicken. Semula produk itu dijual keliling dengan gerobak sepeda.

Tapi sistem penjualan dengan gerobak kemudian ditinjau ulang karena dinilai tidak feasible secara bisnis. Antara hasil dan biaya operasional tidak imbang. Karena itulah, Irawan mulai melirik untuk mendirikan rumah makan dengan menu tetap fried chicken ditambah dengan aneka minuman pendukung. Maka lahirlah ide untuk mendirikan ayam goreng Dobbi. Tidak disangka, ketika dibuka pertama di kawasan Seturan, Jogja, sambutan masyarakat sangat bagus. Dari sinilah, Irawan mulai menyiapkan sistem manajemen karena ada beberapa konsumennya yang tertarik untuk bekerja sama membuka gerai baru.

Sulastri (34) yang membuka gerai di samping markas Polresta Solo, agaknya salah satu mitra bisnis yang sudah menikmati untuk dari ayam goreng Dobbi. Menurut pengakuannya sejak dibuka enam bulan lalu omset penjualannya lumayan. “Semakin hari omset kami terus meningkat,” kata Sulastri. Sulastri yang kini mempekerjakan dua orang karyawan optimistis tidak sampai satu tahun akan segera balik modal. ia juga berniat untuk membuka lokasi baru setelahy kesuksesan di lokasi yang pertama.

0 komentar: