Kamis, 13 November 2008

Bisnis Champina

Produsen es krim Campina lagi gencar menawarkan peluang usaha baru, yakni kerja sama membuka Campina Scoop Counter. Cukup berbekal sewa ruang plus modal sekitar Rp 3 juta, Anda berpeluang meraup untung berlipat.

Barangkali tak ada yang bisa menyebut dengan pasti, kapan es krim mulai dikenal dan dicecap lidah orang Indonesia. Yang pasti, hingga kini gumpalan lembut nan dingin berbahan dasar susu ini sudah begitu lekat dengan lidah masyarakat kita. Masyarakat kelas atas atau kelas bawah, anak-anak juga dewasa, pada suka. Apalagi saat cuaca terik, ehm... alangkah segarnya mengulum es krim nan lembut itu. Kerongkongan yang gersang langsung segar kembali.

Penjaja es krim di Indonesia juga lumayan banyak. Ada yang kelas rumahan, ada yang kelas industri. Salah satu pemain es krim kelas industri yang cukup terkenal adalah PT Campina Ice Cream Industry, produsen es krim berlabel Campina.

Lazimnya perusahaan es krim skala industri, selama ini Campina menjual produk-produknya dalam bentuk kemasan. Nah, mulai tahun ini penggemar es krim Campina bisa memilih sendiri jenis es krimnya dalam takaran sendok atawa scoop. Pasalnya, sejak Juli lalu Campina mulai mengembangkan Campina Scoop Counter (CSC), gerai yang menjual es krim Campina dalam satuan scoop.

Campina bukanlah satu-satunya produsen yang menerapkan strategi pemasaran ala scoop counter ini. Beberapa pemain besar yang sudah beken di seantero bumi sudah lebih dulu melakoninya. Sebut saja Hagen Daaz, Baskin & Robins, dan New Zealand.

Meski harus bersaing dengan nama-nama yang sudah mendunia, manajemen Campina mengaku tak gentar lantaran merasa memiliki kelebihan tersendiri. "Kami punya produk yang sangat bervariasi, dan harganya tidak mahal," ujar Nu'man Abdussyakur, Area Sales Manager Jakarta PT Campina Ice Cream Industry. Asal tahu saja, es krim Campina cuma dibanderol Rp 2.500 per sendok yang dimasukkan dalam cone atau cup.

Modal semiwaralaba cuma Rp 3 juta

Campina juga tidak mau repot mengurusi sendiri gerai-gerai kecil tersebut. "Kami tawarkan pada masyarakat yang berminat untuk membuka gerai CSC dengan sistem semi-franchise," ungkap Nu'man. Cara ini rupanya cukup ampuh. Di Jakarta saja, kata Nu'man, saat ini sudah ada sekitar 80 gerai. "Tahun ini targetnya 200 gerai di Jakarta dan 500 gerai di seluruh Indonesia," ujarnya.

Bila berminat, Anda tentu harus menyiapkan sejumlah duit. Tidak besar, kok. "Hanya Rp 3 juta," kata Nu'man. Dana ini dipakai untuk membeli peralatan dan perlengkapan gerai yang total harganya mencapai dua juta perak. Anda juga akan mendapat gerobak mungil dan pinjaman kotak freezer dari Campina. Nah, sisa satu juta perak lagi dipakai sebagai uang jaminan. "Nantinya dikembalikan jika tidak mau jadi mitra CSC," kata dia.

Enaknya lagi, karena sifatnya semi-franchise, Campina tidak menarik biaya waralaba (franchise fee) dan biaya royalti. "Jadi, orang berpeluang membuka usaha dengan merek ternama, tapi dengan biaya murah," ucap Nu'man berbumbu promosi.

Tugas paling serius yang harus dilakukan calon terwaralaba adalah mencari lokasi yang cocok untuk membuka CSC. Campina menetapkan syarat, lokasi itu harus ramai disambangi orang, setidaknya 200 orang tiap hari. Tak harus di mal atau pusat perdagangan, lokasinya juga bisa di sekolah, terminal, bandara, asalkan kebersihannya terjaga. Tentu saja, Campina akan melakukan survei untuk memastikan kelayakan lokasi itu.

Oh, ya, selain modal uang yang Rp 3 juta tadi, si mitra Campina tentu juga harus menyediakan duit untuk sewa ruang usahanya. Tapi, jumlahnya tak terlalu besar, kok. Sebab, CSC tak membutuhkan ruang yang terlalu luas. Bahkan, Anda bisa nebeng ke pemilik kios atau gerai besar. Nu'man menganjurkan, sewanya jangan sampai melebihi Rp 1.000.000 per bulan. Ini untuk memudahkan investor mencapai target balik modal.

Tapi, saran Nu'man itu hanya patokan. Anda bisa mengabaikannya bila Anda yakin benar akan potensi lokasi pilihan Anda. Seperti pengalaman Sally, mitra Campina yang memiliki 15 gerai di Bandung. Sewa ruang gerainya di ITC Kebon Kelapa, Bandung, misalnya, sekitar Rp 2.000.000 per bulan. Toh, Sally tetap mengeduk untung dari situ. Soalnya, "Di situ saya bisa dapat omzet Rp 700.000 tiap hari," ungkapnya bangga.

Makin kreatif, makin untung

Memilih lokasi yang pas memang tak mudah. Sekarang bisa saja lokasi itu ramainya bukan main, tapi besok -besok bisa sepi kayak kuburan. Hal serupa ini pernah dialami Sally di gerainya yang berlokaasi di Griya Sumber Sari. Untuk menyiasatinya, jangan menyewa ruang untuk jangka panjang. Cukup sewa bulanan atau paling lama tiga bulan. Jadi, bila lokasi gerai mulai sepi, kita bisa cepat pindah ke tempat lain.

Selain lokasi yang oke punya, agar keuntungan deras mengalir ke brankas, kunci suksesnya adalah kejelian dan kreativitas dalam memberikan nilai tambah pada barang dagangan. Campina tidak mewajibkan Anda menjual es krim ini secara plain vanilla alias lugu, yaitu Rp 2.500 per cone atau cup. Si mitra bebas mengkreasikan penyajian es krimnya, hingga bisa pula menjualnya dengan harga lebih tinggi. Contoh kecil saja, Anda bisa membubuhkan stroberi, wafer, atau cookies nan renyah di atas es krim, lalu jual dengan harga, misalnya, Rp 5.000.

Semakin kreatif Anda menyajikan es krim, semakin besar minat konsumen dan keuntungan Anda. So, semakin cepat pula modal Anda balik. Nah, asal lokasinya oke, dengan cara penjualan standar saja Anda tetap bisa menikmati keuntungan yang senikmat es krim. Sebab, margin kotornya mencapai 60%. Dengan omzet Rp 6 juta per bulan saja, sekitar 3 bulan modal Anda sudah balik. Bulan selanjutnya, Anda tinggal menyesap keuntungan. Slurp... slurp.... Nyes, nikmatnya.
+++++

Es Krim dari Garasi

Es krim Campina merupakan salah satu industri es krim lokal yang sanggup bertahan di tengah serbuan industri es krim asing. Siapa sangka, es krim lokal ini berasal dari sebuah garasi sederhana?

Kisahnya bermula tahun 1970. Sang pendiri, Pranoto, mulai mengolah es krim di garasi rumah mungilnya di Kota Surabaya. Kala itu es krim belum sepopuler sekarang, sehingga dia harus bersusah payah menjajakan es krim buatannya.

Pada tahun kesepuluh, barulah Pranoto berhasil membeli mesin pengolah es krim yang khusus didatangkan dari Italia. Lokasi produksinya, sih, tetap di garasi rumahnya itu. Tapi dengan mesin lebih canggih itu usahanya makin maju.

Akhirnya, setengah dekade kemudian, ia memindahkan kegiatan usahanya ke kawasan bisnis bergengsi di Rungkut Industrial Estate, Surabaya. Tahun 1994, keluarga Sabana Prawirawidjaja, pemilik PT Ultra Jaya Milk Industry, membeli sebagian saham perusahaan ini. Nama perusahaan pun berubah dari CV Pranoto Pancajaya menjadi PT Campina Ice Cream Industry, sampai sekarang.

Kini, produk-produk perusahaan ini cukup populer dan gampang dijumpai di minimarket, supermarket. Tersebut pula beberapa tempat makan lain yang khusus memakai es krim buatan Campina, antara lain D'Crepes, Music Cafe, Steak Obonk, Carrefour Restoran, Embargo Coffee Shop, dan Inul Vista Karaoke.

0 komentar: